Riuh Asing dalam Penghakiman

Memberi asumsi untuk solusi?

Konstruksinya baik, tapi ruang dengar hilang yang ada hanya penghakiman atas dasar realita yang samar tapi disama-samakan.


Menyamakan referensi untuk validasi?


Isi hilang, yang ada fana atas landasan eksistensi yang kian makin marak dalam hitungan komentar tapi tak paham tentang penerimaan. Semua dihitung berdasarkan pengeluaran.


Kendali hilang atas dasar penghakiman silang?


Selamat menuai kesendiriaan dan kesepian yang makin akut dengan ketakutan tak bisa menerima diri dari konstruksi yang makin menjadi-jadi dari omongan ini-itu.

Memendam lalu mencari ruang lampias untuk sebuah tenang tidak menjadi cara terakhir dari pelarian. Hadir kicau yang makin riuh di kepala, mencari ruang untuk membuang sampah, tapi apa daya sampah menjadi konstruksi yang jorok nan borok. Semua menghindar dan laju tersandar, bukan mencari korban tapi yang ada hanya pilar penghakiman. Ia makin kokoh seiring validasi hilang, Ia makin mengurai dalam akar-akar asumsi, Ia berlari tapi tidak diterima, Ia menepi lalu terjerat sendiri.


“Proses tai.”

Teriakannya lantang tapi tak membentang.


Kesendirian membuatnya terjerat dalam ruang gelisah. Takut yang menjadi besar, energi habis terhisap lalu berkabung, mencoba melangkah lalu dianggap serakah. 


Dirinya bertanya 

“Apa yang harus kulakukan?” 


Semua sibuk menuai prioritas masing-masing, dianggapnya remeh, menuai temeh dalam asumsinya lalu disalahkan atas interpretasi. Sampai pada akhirnya.  Ketika datang kata akhir, semua berteriak tapi semua enggan untuk menjelma bantu menjadi utuh. Kiranya sepi bisa dihapuskan dengan ramai, nyatanya keramaian bisa juga menjadi tempat yang paling sepi. Kontra tapi ternyata itu satu hal yang bukan fiktif. 


Penolakan pada diksi kasian tapi enggan menerima diri sebagai utuh layaknya kajian. Satu jenis akar dari peduli, jelas kasian. Empati menjelajah hati, lalu simpati membawa diri pada keberanian hingga bantu menjadi jelmaan yang utuh. 


Konstruksi membuat kita menolak pada diksi beda, padahal setiap referensi untuk membangun konstruksi juga dari bahan yang berbeda, jenis yang berbeda, harga yang berbeda hingga membentuk rumah asumsi. 



Kepala berbeda, referensi berbeda, interpretasi berbeda tapi mengapa saat abu-abu tidak bisa diterima malah menyalahkan si pembuat abu-abu? Mengapa semua dikaitkan harus menjadi sama disaat semua orang membuat kolam masing-masing?