Akar-akar terus berjalan menyimpang satu sama lain untuk menancapkan jalurnya pada ruang yang terdalam, melebar mengambil gambar besar, menyimpang karna hanya ia yang bisa berada pada tempatnya hingga batang, ranting, dan daur bisa tumbuh sesuai dengan porsi yang saling mengisi satu dengan yang lainnya. Satu kesatuan, menjadi hancur saat satu bagian tidak paham dimana ia berdiri dan untuk apa dia diberi hidup. Namun kadang, mempertanyakan untuk apa hidup juga akan menjadi racun untuk logika dan intuisi, ia bergerak melalui memori sedih lalu menghancurkan bagian dalam secara pelan-pelan-pelan dan pelan sampai pada akhirnya ia mati sendiri karena isi kepalanya sendiri.
Tragis, tapi apa yang mau kau rindukan pada makhluk yang telah mati karena ia tidak diberi ruang untuk mengerti, ia tak diberi ruang untuk paham, ia tak diberi ruang setidaknya untuk berfungsi karena ia tidak pernah punya keberanian untuk bercerita, karena ia tidak pernah diberikan ruang untuk berbicara, karena ia tidak pernah diberikan ruang untuk meneriaki emosinya, karena mereka semua menahan, menahan untuk bercerita, menahan untuk berbicara, menahan untuk berteriak dengan emosi, yang mereka bisa bilang bahwa orang kuat adalah mereka yang memendam-mendamnya pendendam.
Merekahlah, temui dimana dirimu ditempatkan dan difungsikan, walau tidak menjadi berguna tapi mempunyai fungsi sama dengan mempunyai harapan. Harapan masih menunggumu dibalik bilik kesendiran, ia akan selalu senantiasa menunggu sampai dirimu tahu bahwa kau hanya punya dirimu sendiri, bahwa kau adalah kuasa dari segala yang hadir dan rasakan dalam dirimu. Menetaslah, hancurkan semua luka menjadi lembaran-lembaran halus yang bisa kau pegang dan rasakan, walau menerima bukan hanya seperti berjalan diatas air yang menggenang tapi biarkan ia masuk dalam ritme perjalananmu senantiasa yang menjadi sia-sia akan menjadi suka cita, yang menjadi-jadi akan menjadi isi-mengisi, yang lalu-lalang pergi akan kau pahami menjadi waktu yang saling mengisi.