Emosi memunculkan spektrum rasa yang tak bisa diatur oleh sirkuit proses logika, terkadang ia muncul begitu cepat dan membuat sebuah ruang menjadi sepi bahkan sampai semua hilang hanya dalam satu waktu. Lalu diri merujuk pada pertanyaan-pertanyaan tentang kenapa? Kenapa? Kenapa?
Tapi ada yang gusar pada pertemuan itu, simpati menanyakan pada diri “Mengapa kau selalu menanyakan perihal yang tak bisa kau terima dengan marah?” Diri tetap bersikukuh untuk melihat satu permasalahan dari sisi kenapa.
“Ada hal yang tak bisa kau ubah,
Ada hal yang tak bisa kau genggam,
Ada hal yang tak bisa kau capai,
Tapi
Semua hal bisa kau terima,
Semua hal bisa kau ikhlaskan,
Semua hal bisa kau rangkul dengan caramu sendiri”
Empati seraya menegaskan kalimat itu sambil menahan pedihnya diri yang selama ini terlalu banyak memendam. “Tak usah kau gusarkan realita, tugasmu hanya bertahan dan melewati semua perjalanan cerita ini dari semesta. Ingat, hanya waktu yang bisa kau berikan untuk semua orang dan kau tak bisa menahan semua kesedihan orang-orang disekitarmu untuk kau tolong. Seharusnya yang kau tolong lebih dahulu adalah dirimu sendiri.” Empati mengucapkannya kembali.
Diri tak bisa menahan semua emosi yang ada di dalam kepala dan hatinya. Satu persatu, emosi mencari ruangnya masing-masing. “Aku hanya perlu ruang, sebuah ruang sepi yang berisi tentang hidup antara aku dan ketenanganku.”
“Hidup bukan hanya soal tenang tapi berimbang dan jangan melebihkan porsinya masing-masing. Kau adalah tempat kami ditempatkan pada ruangan kami masing-masing, tak perlu menjadi seseorang. Kau adalah segala serpihan dimana kami sekarang berdiri. Realita menyadarkanmu untuk terus berjalan, tak apa jatuh dan terluka. Besok kau akan tersadar betapa semesta sangat mencintaimu untuk kau berdiri di tempatmu sendiri.” Ikhlas seraya merangkul diri untuk menerima semua hal yang telah dilakukannya.
“Arogan membuatmu melupakan ikhlas, kau terlalu memberi peran arogan dengan leluasa sehingga kau lupa bahwa kau hanya sebuah manusia biasa. Arogan hanya membuatmu melupakan hal-hal kecil yang telah kau lakukan untuk sebuah tujuan yang kaupun juga tak tau akan menjadi apa jika sudah mencapai disana. Arogan hanya membawamu pada nilai-nilai superior yang membuatmu memandang rendah manusia-manusia lain.” Kata empati sambil memberi sebuah buku tentang hal-hal yang sudah dilakukan diri sampai di titik ini.
“Arogan tak mengenal kata maaf, sekalipun untuk dirimu sendiri. Jangan biarkan ia bermain peran apalagi sambil mendorongmu pada titik menjatuhkan orang lain. Biarkan ia menetap pada manusia lain, tapi jangan pada dirimu karena akan mencelakakan semua ruang emosi yang berada pada intuisimu. Biarkan ia pergi, dan genggam maaf untuk menjadi bekalmu kedepan.” Simpati yang berusaha menjadi mediasi pada diskusi itu.
Genggam kembali semua salah dan masa lalu menjadi sebuah maaf pada masa sekarang. Rangkulah kembali dirimu yang lemah itu, kau tak perlu menjadi kuat tapi perlu rasanya menjadi mediasi antara logika dan intuisi. Salah satu akan menjadi dominan, tapi ingat kau hanya seorang manusia.
“Mengikuti logika kau mati,
Mengikuti intuisi kau binasa”
Begitu kata haruki marukami.
Tak perlu berlomba-lomba dalam kemenangan, kau bukan kalah untuk saat ini tapi kau hanya beristirahat pada waktu untuk mencapai ketenanganmu merangkul semua sisi diri yang diberikan oleh Tuhan.
Rangkulah kembali diri. Biarkan ia mati, karena dikehidupan selanjutnya ia akan berjuang untuk mencapai hidupnya kembali dan diri akan lebih bisa menerima akan semua yang diberikan oleh semesta.
Selamat merayakan kesalahan, tertawalah pada masa lalu.