Apa yang Ia katakan?

Kita terjebak.
Ilusi mengalihkan kita.
Tapi, tanpa ilusi tidak ada namanya harmoni,
Kita adalah hasil dari mereka.

            Kita adalah manusia. Melebur dari berbagai perbedaan yang kemudian takabur dengan satu lingkup aspek sensitif yang membawa kita pada peperangan nurani. 

Apa yang sebenarnya ingin dicapai? “Menciptakan dunia yang damai” mereka mengatakan itu.

            Kita yang terlalu enggan membuka hati, kita dibentuk untuk menciptakan argumen yang kuat hingga kita dikenal sebagai “seseorang” tapi yang dari dulu dilupakan, adalah bagaimana cara mendengarkan orang lain. Hasilnya? Orang-orang berlomba-lomba siapa yang menjadi paling, sampai menjalar pada kesedihan. Hasilnya? Orang-orang terus menekan, sampai lupa memberi ruang pada satu sama lain.

            Tak perlu kita menjadi titik, yang memberhentikan semua orang untuk didengarkan tapi kita tak pernah bisa untuk mendengarkan. Jadilah sebuah titik koma, dua tanda dalam satu liniar menggabungkan emosi dan afeksi menjadi sesuatu yang berharga, sebuah cara mendengarkan. Dua tanda tersebut mampu menjadikan satu kata menjadi beribu kata definisi menurut persepsi masing-masing.

            Biarkan, kita menjadi berbeda. Kita takkan pernah sama, tapi kita bisa melengkapi semua dengan karakter masing-masing. Aneh, normal, baik, jahat, buruk, dan yang lainnya, itu hanya label yang terbentuk dari setiap budaya yang muncul, dan lingkup budaya yang paling kecil tapi mendominasi adalah keluarga. 

Kita adalah serpihan alam,
Tumbuh, tengkar, ayom, reinkarnasi,
Biarkan lingkup itu berputar.

Kita adalah semua yang menjadikan,
Tapi, kita berhak memilih untuk menjadi apa.
Intuisi dan logika, adalah isi dari kita semua,
Tapi, kita lupakan satu konsep; situasional.


Biarkan, ia menjadi manusia.