Hidup akan selalu penuh pengharapan dengan percaya atas dasar intuisi dan logika ngawang. Selalu ada perjalanan yang beririsan antara spektrum-spektrum warna yang saling berkaitan satu sama lain. Semuanya pasti selalu atas dasar kebutuhan bukan keinginan. Hadir hari ini tentu besok akan menghilang, yang penting disaat ini tentu besok bukan siapa-siapa lagi, yang tersirat saat ini tentu besok akan tersurat.
Manusia tidak bisa lepas dari ekspektasi untuk menentukan sebuah perjalanan realita dari hidup yang terlalu egois. Ekspektasi muncul atas dasar kebutuhan, untuk mengambil persentase kebahagiaan dan pembelajaraan bukan atas dasar tiba-tiba. Konstruksi yang kita buat dari semasa kita bermain layang-layang, kayang hingga melayang.
Tak disadari ekspektasi bisa membuat kita seolah kita adalah penguasa realita, ingin ini-itu namun semuanya sirna saat sebuah keajaiban datang atas percaya pada sang Khalik. Ekspektasi memang seringkali membuat jiwa kosong atau bisa jadi sangat terpenuhi, tergantung bagaimana ia berperan dalam membuat keputusan. Ekspektasi adalah titik awal bagaimana ilusi hadir lalu menjadi fantasi.
Ilusi adalah sebuah lingkup dimensi satu perspektif yang timbul karena ekspektasi tidak bisa dipenuhi oleh realita. Ilusi ini sebenarnya jahat, ia bisa melangkahkan logika atas dasar nama “harapan” yang terus diusung dari waktu ke waktu hingga di titik pertemuan, jiwa akan hancur bila tidak kuat menahan dorongan dari realita yang terjadi.
Sisi lain, ilusi akan sangat begitu menenangkan sebab tak ada hal yang bisa dijelaskan untuk memenuhi kebahagian. Begitu abstrak, plain,membingungkan, sebab ia terus berlari setelah tongkat ekspektasi diambil.
Titik ilusi akan selalu membuat emosi-emosi bermunculan lalu membuat memori menjadi sangat begitu berarti. Tak ada yang lebih penting dibandingkan kebahagiaan di titik ini, seolah semua indera begitu penting bermain peran disini. Titik akhir sebuah ilusi adalah sebuah kesadaran bahwa kita selama ini terjebak di dalamnya.
Setelah ekspektasi menjadi ilusi, fantasi mulai menampakkan wujudnya. Fantasi muncul saat ilusi sudah tidak lagi dipercaya. Fantasi sama seperti pengharapan, kita sadar bahwa kita sedang berjalan di sebuah titik yang usang dari waktu yang kelam namun muncul sebuah makna harapan yang selama ini terjerat dalam lintas waktu.
Fantasi membuat realita begitu nyaman menjalani kesehariannya dengan waktu detik per detik yang terus berjalan. Ia begitu elok memaknai pembelajaraan dan kebahagian menjadi hal yang seimbang antara satu sama lain.
Kepercayaan adalah dasar memaknai fantasi untuk sebuah kemolekan cara berpikir dari sisi kemanusiaan. Fantasi tidak hanya dibangun atas dasar satu perspektif, ia mulai mencari perspektif lain untuk keberagaman logika dan intuisi.
Titik akhir dari marathon ini adalah sebuah harapan. Harapan begitu besar memainkan perjalanan untuk sebuah proses kehidupan yang sangat begitu necis tapi terkadang ia juga begitu najis.
Pada akhirnya,
Semua akan berikrar pada satu nama,
Harapan.
Kepercayaan hidup,
Bahwa semuanya
Akan begitu baik-baik saja,
Tapi dijalur yang tidak baik-baik saja.
Proses akan selalu berharga,
Dari hidup yang tidak ada harganya.