Melankolia

Debu itu bersarang pada kalbu, tidak peduli mereka menetap berapa lama disitu. Aku hanya peduli kapan kau datang kembali untuk membersihkan semua itu. Aku masih berharap. Masih. Dan akan terus pada jalurnya. Aku tau, aku hanya penyendu dikala siang menangis keras. Menangis karna buminya terus dihidupi pada makhluk-makhluk yang tak mengerti apa yang bumi butuhkan. Menangis keras lalu mendatangan pelajaran namun tak dipelajari, tapi terus dilakukan hingga mereka tak paham apa yang ingin bumi dimengertikan. Begitupun, aku. Aku hanya butuh kamu, seseorang yang hadir pada waktu yang tak dimengerti, namun aku mengerti siapa kita, yang terjerat dalam sebuah jerami yang penuh jarum pentul, susah untuk ditemukan namun dia banyak. 

Tak usah kau pahami seberapa luka terjeram pada lubuk ini, yang perlu kau pahami hanya bagaimana kau mengisi kepiluan yang hadir dengan ketidak jelasan waktu saat bertemu dengan ku, yang kau pahami hanya apa yang kau paham. Aku hanya butuh engkau, wahai jelita di tanah buaya. 

Dengan mu, semua hadir begitu banyak kebahagiaan termasuk senyummu, yang takkan bisa tergambar dalam sebuah lukisan pasir, yang takkan bisa ditulis hanya dengan sebuah pulpen seharga dua puluh ribu, yang tak bisa diukur dengan secarik kertas yang bernominal. Kau hanya berkah pada hidup yang hitam, pada sebuah diri yang kelam, yang tak mengerti apa itu kebahagian. Kau hadir saat malaikat turun dengan rahmatnya, kau hadir saat romeo sedang berpelukan dengan juliet, kau hadir saat jogja selalu memberikan inspirasi. 

Aku masih seperti dulu
Tak peduli seberapa ku, 
lewati sebuah pilu
Hingga paru-paru dirasuki debu
Namun, aku masih seperi dulu
Menggenggam sebuah harapan
Bahwa kau,
akan menoleh 
bersama rindu yang ku dambakan